REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Wara berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat (perkara samar). Jumhur ulama seringkali mengartikan wara ini dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, dan meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan sikap wara secara jelas dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, bahwa wara adalah, “Sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya, yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada manfaat yang lebih besar dari mengerjakannya.“ (Majmu’ Fatawa, 10/511).
Terdapat banyak orang yang tidak mengetahui tentang perkara syubhat tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penggalan sabda Rasulullah Saw. “Perkara halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Di antara keduanya (halal dan haram) ada perkara syubhat yang banyak orang tidak mengetahuinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah melanjutkan dalam sabdanya, bahwa siapa yang menjauhi perkara syubhat ini maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
“Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya,” lanjut sabda tersebut.
Selain itu, Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah terkait sikap wara, dalam sebuah penggalan hadis shahih dijelaskan, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah” (HR Ibnu Majah).
Ibnu Rajab menjelaskan pengertian wara lebih sederhana dalam bentuk saran terhadap setiap Muslim. Ia mengemukakan sebuah hadis, “Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu” (HR An Nasai dan Tirmidzi).
Untuk meninggalkan dosa tentu tidak mudah, sehingga kita membutuhkan kesungguhan niat. Para tabiin saja membutuhkan waktu selama 40 hari dalam meninggalkan dosa. Hal ini disampaikan Ibnu Rajab sebagaima yang dikatakan sebagian tabiin, “Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Sementara, Imam Nawawi rahimahullah menyampaikan suatu cara dalam menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum, baik halal ataukah haram. Imam Nawawi berkata:
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma, lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal. Namun, jika ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut."
Penjelasan Imam Nawawi tersebut sangat menggambarkan sikap kehati-hatian dalam hukum Islam. Kehati-hatian merupakan tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara. Karena itu, setiap Muslim harus selalu berhati-hat dari sesuatu yang haram, dan pernah berani untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap wara adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dan menghilangkan semua keburukan dalam diri kita. Seseorang tidak dikatakan memiliki sikap wara sampai menjauhi perkara yang masih samar hukumnya lantaran takut terjerumus dalam keharaman.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan bahwa Abu Bakar juga pernah memuntahkan makanan yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut dilakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah.
Sikap wara seperti yang dilakukan Abu Bakar tersebut dapat menjadi contoh bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita dapat memiliki hati yang bersih, dan bertemu dengan Tuhan dalam keadaan yang bersih pula.
sumber : Dok Republika
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Bagaimana cara meningkatkannya?
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.